Salah satu isu yang paling sering dibicarakan dalam diskursus budaya, khususnya seni tari di Indonesia adalah pertemuan antara modernitas dengan tradisi dalam karya-karya seni kontemporer, yang menghasilkan berbagai pendapat yang saling bertarung satu sama lain. Sementara itu, sebagian pakar sosiologi di masa kini memiliki perdebatan tentang kehidupan masyarakat dunia kontemporer. Sebagian pakar masih terus melihat masyarakat kontemporer sebagai bagian atau kelanjutan dari kehidupan modern, sementara sebagian lainnya menyatakan bahwa dewasa ini umat manusia telah mengalami perubahan yang demikian dahsyat, sehingga sebenarnya manusia telah memasuki suatu kehidupan baru, yakni kehidupan masyarakat post-modern.


Pengaruh modernisme dan modernitas sampai pula ke dalam dunia tari dan menghasilkan apa yang kemudian dinamakan sebagai tari modern, yang ditandai oleh penggunaan alat-alat teknologi pementasan dan berbagai inovasi yang menantang kebekuan tradisi. Apa yang dewasa ini dinamakan sebagai tari modern pada dasarnya adalah suatu bentuk tarian yang terbentuk dan berkembang sejak dari awal abad 20, yang dipelopori oleh penari-penari dari Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa Barat yang memberontak kebekuan tari ballet dan berbagai classical dance yang telah menjadi tradisi pada saat itu.


Kedatangan Martha Graham, tokoh tari modern Amerika Serikat, untuk mengadakan pertunjukan di Indonesia pada bulan Desember 1955, kemudian menjadi momentum penting perkembangan tari modern di Indonesia. Dua tahun kemudian yakni di tahun 1957, tiga penari asal Indonesia, yakni Bagong Kussudiardja, Wishnu Wardhana, dan Setiarti Kailola diundang ke Amerika Serikat untuk belajar langsung dengan Martha Graham. sepulang dari Amerika, Bagong dan Wishnu mendirikan sekolah tarinya masing-masing di Yogyakarta pada tahun 1958, sementara Setiarti tetap tinggal di Amerika Serikat hingga masatuanya. Di sekolahnya masing-masing, Bangong dan Wishnu kemudian mencoba memadukan unsur-unsur tari modern yang ditimbanya di Amerika dengan teknik dan pengetahuan tari yang mereka pelajari dari tokoh-tokoh tari tradisi Jawa Yogyakarta.


Sementara itu di akhir dasawarsa 1950-an, sejumlah seniman muda Surakarta yang kuliah di Yogyakarta, mendirikan kelompok tari Himpunan Seni Budaya. Salah satu pemukanya adalah Gendon Humardhani, yang seperti Bagong dan Wishnu, kemudian juga mendapat kesempatan mengunjungi Inggris dan Amerika Serikat. Gendon Humardhanilah yang meletakkan batu dasar pembaharuan tari di kola Surakarta pada awal tahun 1970-an. Gaya garap dan pembaharuan Gendon juga bertolak dari tradisi Jawa, dalam hal ini gaya Surakarta, dan dikenal sebagai gaya Sasonomulyo yang lebih ekspresif dan dinamis.

Berdirinya Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) pada tahun 1968, memberi kesempatan yang luas kepada penari dan penata tari dari berbagai gaya dan daerah untuk bertemu dan pada saat yang sama menciptakan berbadai inovasi dan kreasi baru. Di PKJ-TIM inilah, para pembaharu tari tradisi, atau dapat dikatakan sebagai pelopor tari modern Indonesia, tumbuh dan berkembang. Di antara mereka, terdapat Sardono W. Kusumo (Jawa Surakarta), Farida Feisol dan Yulianti Parani (ballet), Huriah Adam (Minangkabau), Sentot Sudiharto (Jawa) dan I Wayan Diya (Bali).


Sementara itu di Minangkabau, dengan dukungan Rustam Anwar, Huriah mendirikan kelompok tari yang tampil pertama di Padangpanjang 8 Mei 1958. Pada bulan September 1960, Huriah mendapatkan kesempatan pentas di forum nasional, yakni dengan mengikuti lomba tari dalam rangka Konggres Pemuda di Bandung. Pada forum itu Huriah membawakan dua ciptaannya, yakni Tari Tani dan Tari Nelayan yang keduanya digarap berdasarkan gerak-gerak silat Minang, namun merespons tema-tema baru yang aktual dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Kreativitas Huriah kemudian semakin mendapatkan motivasi setelah ia bertemu dengan Sardono W. Kusumo yang baru kembali dari New York. Sardono mengundang Huriah mengikuti workshop tari yang ia lakukan di Taman Ismail Marzuki bersama tokoh-tokoh tari Indonesia lainnya.


Huriah kemudian hijrah ke Jakarta untuk mencari dukungan atas usaha kreatifnya. Kariernya di Jakarta menanjak ketika 1969 ia diangkat menjadi anggota Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta dan setahun kemudian menjadi pengajar di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini Institut Kesenian Jakarta). Untuk mengajar penari-penari Jakarta yang tak mengenal silat Minang, Huriah menyusun 13 macam rangkaian gerak berdasarkan pencak silat Minang. Beberapa karya penting yang dihasilkannya adalah Tari Payung, Barabah, Sepasang Api Jatuh Cinta, dan dramatari Malinkundang (1969). Huriah mulai menjauh dari gerak tari Melayu untuk mendalami dan mengembangkan gerak-gerak silat Minang. Salah satu koreografi tunggalnya berjudul Sepasang Api Jatuh Cinta adalah tari yang berangkat dari tari piring tradisi Minang, yang ditarikannya dengan piring dengan lilin menyala di kedua tangan, dan diiringi 2nd Movement Violin Concerto IV dari Paganini. Eksperimentasi yang berani ini dipandang berhasil oleh banyak kritikus, tetapi mengundang reaksi dari para pendukung tradisi.


Tahun 1970, selama 6 bulan Huriah mengikuti misi kesenian pemerintah R.I. di Osaka, Jepang. Perlawatan ini membuka lebih luas cakrawala pemikiran Huriah. Kembali dari sana, Huriah kembali mengajar dan mengmebangkan teknik tari Minangkabau baru. Tahun 1971, Huriah mementaskan dramatari Malinkundang di Padang dengan interpretasi baru, dimana ibunda Malinkundang tetapi Tuhan-lah yang menghukum Malin yang durhaka. Karya itu disambut dengan tanggapan beragam, ada yang terkesan, tetapi banyak pula yang ragu apakah yang mereka saksikan adalah tari Minang. Sekalipun peralatan musik tradisi seperti talempong, saluang, bansi, dan gong digunakan tetapi cara memainkannya sangat berbeda dengan cara Minang tradisional. Namun Huriah menegaskan pendiriannya bahwa ia mendasari koreografinya dengan apa yang oleh banyak orang Minangkabau dilihat sebagai akar tari Minang, yaitu pencak-silat.


Dengan tindakan dan karya-karya tarinya Huriah menjadi terkenal bukan saja di Sumatra Barat tetapi juga di Jakarta. Di tangan Huriah tari Minangkabau tak lagi tampil sebagai pamenan atau pengisi waktu luang tetapi sebagai karya seni tari yang teatrikal. Untuk pertamakalinya dalam sejarah Republik, tari Minangkabau mencapai kedudukan setara dengan tari Bali dan Jawa yang sejak lama sering mewakili penampilan Indonesia di forum dunia. Kontribusi terbesar Huriah, adalah memacu wanita Minang untuk maju dan berani mengekspresikan diri secara bebas, mengungkapkan perasaan, pikiran, dan keyakinannya. Secara nyata ia menunjukkan bahwa tari Minang menyediakan ruang yang cukup untuk ekspresi individual maupun kultural bagi wanita Minang.


Huriah adalah perintis yang membuka jalan bagi seniman-seniman tari wanita Minang yang hadir kemudian, yakni Gusmiati Suid. Sebagaimana gadis Minang umumnya, sejak kecil Gusmiati rajin pergi ke surau untuk belajar dan memperdalam pengetahuan dan pemahamannya akan hukum dan ajaran Islam. Ketika tumbuh menjadi remaja, Gusmiati mulai belajar tari Melayu dan menjadi guru, tetapi juga berkomitmen kepada silat, tari Minang, dan nilai-nilai tradisi. Gusmiati mencintai tradisi tetapi tidak melihatnya sebagai barang mati, melainkan tumbuh dan berkembang sesuai dengan tempat dan masanya. Dalam karya-karya Gusmiati Suid yang lugas, indah, dan menyentuh dua hal hampir selalu dapat ditemui, yakni: adat dan syarak.


Kemasan koreografi Gusmiati secara umum terlihat baru, akan tetapi gerak, musik, dan vokal dalam karya-karyanya selalu didominasi oleh nuansa Minangkabau, sementara isi dan pesan tarinya tetap setia kepada nilai-nilai tradisi, Islam, dan nilai-nilai kemanusiaan. Di dalam karyanya Api dalam Sekam, Gusmiati menuangkan keprihatinannya yang mendalam akan situasi kritis berbangsa dan bernegara Indonesia. Sementara dalam karyanya Kabar Burung, Gusmiati mengambil inspirasi tradisi tupai janjang, salah satu bentuk bakaba Minang, di mana di satu pihak ia mengambil tokoh-tokoh dari legenda, di pihak lain secara kreatif memberikan interpreatasi baru yang relevan dengan masanya. Melalui karyanya Menggantang Asap (2000), yang merupakan kelanjutan dari dua karya sebelumnya, yakni Api dalam Sekam (1998) dan Asa di Ujung Tanduk (1999), Gusmiati menggambarkan kecemasan, bahkan keputus-asaan yang terjadi akhir-akhir ini.


Sementara banyak karyanya yang menunjukkan kemampuannya mencipta tari dari hasil observasi atas kehidupan masa kini, imaji kampung halaman, melalui elemen musik dan gerak Minang tetap mendominasi. Kaitan dengan masa silam dan pemanfaatan materi dan nuansa Minangkabau selalu dihadirkan secara wajar dalam karya-karya Gusmiati. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa koreografi Gusmiati mewujud dari perpaduan antara sebuah observasi yang tajam dan penghayatan yang peka rasa. Kemapuan yang diwarisi Gusmiati Sui dari pendahulunya Huriah Adam itu, diwariskannya pula kepada para koreografer muda Minangkabau masakini, antara lain Zuryati Zubir, Sawanismar, Deslenda, Angga Jamar, dan Hartati.