Di kota Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan kini hidup berdampingan suku bangsa Serawai, Pasemah, Jawa, Minangkabau, Melayu, Sunda, dan Batak. Sebagian besar penduduknya beragama Islam, terutama warga asli, sedang sebagian kecil penduduk beragama Protestan, Khatolik dan Hindu. Menurut sejarahnya, dahulunya penduduk Manna menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Masyarakat suku Serawai, yang dipercaya adalah suku asli yang mendiami kawasan Manna, yang di masa lalu memiliki kepercayaan kepada dewa-dewa, sementara suku Melayu umumnya sudah lebih dahulu memeluk agama Islam. Sampai pada saat ini pun masyarakat Manna masih percaya akan kekuatan gaib dan dewa-dewa. Walaupun mereka telah beragama Islam tapi masih terdapat sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisnya. Salah satunya adalah kepercayaan akan mitos yang sangat melekat di sebagian lingkungan masyarakat Manna. Sebagian besar Mitos itu hidup dan dikenal masyarakat dan bahkan sama dengan peristiwa historis.
Di sekitar abad ke 12-17 di daerah Bengkulu Selatan terdapat dua kerajaan kecil yaitu Gedung agung dan Manau riang. Sampai pada akhir abad ke 15 kerajaan-kerajaan kecil ini dibawah pengaruh kerajaan Majapahit yang mengalahkan Sriwijaya pada abad ke XIII. Dalam periode ini rata-rata kerajaan kecil di daerah Bengkulu di pimpin oleh Bikaw yang merupakan sebutan pimpinan agama Budha. Kemungkinan besar agama ini masuk melalui kekuasaan kerajaan Sriwijaya. Setelah Majapahit mundur pada pertengahan abad-16 Islam masuk melalui pengaruh kesultanan Banten. Sejak saat itu Islam berkembang di Bengkulu secara umum, termasuk di Bengkulu Selatan. Perkembangan agama Islam semakin pesat melalui hubungan dagang dengan kerajaan aceh di abad-17.
Kabupaten Bengkulu Selatan juga dikenal dengan sebutan kawasan Seraway, yang merujuk pada nama suku bangsa asli. Asal nama Seraway dikaitkan dengan dua pendapat yaitu: pertama, pendapat yang mengatakan bahwa Seraway berasal kata sauai, yang maksudnya cabang dua buah sungai yaitu sungai Musi dan sungai Seluma yang dibatasi oleh Bukit Capang. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Seraway berasal kata dari seran yang artinya celaka (celako). Ini dihubungkan dengan suatu legenda dimana seorang anak raja dari hulu dibuang (dihanyutkan) ke sungai karena menderita penyakit menular. Ia lalu terdampar, dan mendirikan kerajaan. Daerah dimana anak raja ini terdamparlah yang kini dikenal sebagai Seraway.
Kerajaan Seraway terpisah dengan Kerajaan Bengkulu (Bangkahulu). Kerajaan ini ditemui antara daerah sungai Jenggalu sampai ke muara sungai Bengkenang namun kerajaan ini akhirnya terpecah- pecah menjadi kerajaan kecil yang disebut margo (marga). Marga dipimpin oleh seorang datuk dan membawahi beberapa desa atau dusun. Marga-marga di Kabupaten Bengkulu Selatan yang kini masih dikenal adalah Pasar Manna, VII Pucukan, Anak Lubuk Sirih, Anak Dusun Tinggi, Kedurang, Ulu Manna Ilir, Ulu Manna Ulu, Anak Gumay dan Tanjung Raya. Namun mereka bersatu atas dasar satu kesatuan dan satu keturunan dan satu rumpun bahasa. Bahasa di Kabupaten Bengkulu Selatan terdiri dari dua bahasa asli yaitu bahasa Pasemah yang banyak dipakai dari muara sungai Kedurang sampai dengan perbatasan Kabupaten Kaur sedangkan mayoritas menggunakan bahasa Seraway yang merupakan turunan dari bahasa Melayu.
Masyarakat Manna, Bengkulu Selatan di Masa kini adalah masyarakat yang sedang bergerak menjadi masyarakat modern. Meski kini banyak yang hidup sebagai PNS, namun umumnya mereka masih mencari penghasilan dengan bekerja di sektor pertanian, khususnya perkebunan yang menghasilkan beberapa jenis tanaman perkebunan utama seperti; kelapa sawit, kopi, karet, coklat, dan kelapa. Selain di sektor pertanian, sebagian masyarakat Bengkulu Selatan juga mempunyai penghasilan di sektor lain seperti; peternakan, perikanan, kehutanan, perindustrian, pertambangan, dan perdagangan. Kini, di Manna juga tumbuh hotel dan pariwisata. Namun sayangnya, potensi wisata di Manna masih banyak yang belum dikembangkan.
Meski Masyarakat Manna sedang tumbuh menjadi masyarakat modern, mereka juga masih terikat kuat dengan Adat, yang membuat kebudayaaan mereka relatif masih terpelihara dan dilestarikan oleh masyarakat setempat. Hal ini dapat dilihat dari adanya mitos-mitos yang masih terpelihara kuat di daerah mereka, Demikian pula masih terpelihara warisan budaya seperti hukum adat, kesenian adat yang bernuansa religius ataupun upacara adat yang syarat dengan muatan-muatan nasehat dan budi pekerti. Selain itu, terdapat pula upacara-upacara ritual ziarah sebagai bentuk penghormatan dan ibadah masyarakat terhadap para pendahulunya atau untuk para leluhur dan orang tua.
Hukum adat, masyarakat Manna terdiri atas yang tertulis dan yang tidak tertulis. Aturan yang dipedomani secara lisan memang tidaklah ada sangsi nyata berbentuk kesepakatan hukuman tetapi, bentuk sangsi moral yang lebih menyakitkan dalam jangka panjang bagi pelanggaran aturan itu seperti, dijauhi orang, dan bicara tidak didengarkan orang. Adapun aturan yang tidak tertulis tersebut, seperti: istinja, petata petitih, etika, dan norma-norma adat lainnya.
Selain itu, di Manna juga masih terdapat berbagai kesenian tradisional, yang meliputi, kesenian yang bernuansa religius, seperti kaligrafi, tadut, serapal anam. Ada juga kesenian yang merupakan perpaduan antara seni tari, seni musik, dan seni suara seperti, berdendang, tembang, dll. Sedangkan tarian tanpa alat musik ada beberapa seperti, tari Bubu, tari Pisau Dua, tari Pedang, tari Silat, dan juga tari Andun ada pada setiap kecamatan, kecuali di Kecamatan Kedurang.
Meski kini banyak produk kebudayaan asli yang mulai punah, sebagai implikasi logis dari modernitas, di Manna Bengkulu Selatan masih dilaksanakan berbagai upacara adat yang bernuansa agamis dan sakral, seperti upacara adat Nundang Padi, upacara adat Ziarah, upacara Sedekah Pengobatan, dan upacara adat Bimbang. Pada setiap acara adat, masyarakat mengenakan pakaian adat, yang telah disepakati pada zaman pasirah, jauh sebelum kabupaten ini menjadi tingkat dua. Untuk laki-laki, pakaian yang dikenakan adalah baju lakan dengan kerah belah buluh, detar bewarna benang emas, dan celana warna hitam.
Implikasi logis dari modernitas kebudayaan, menurut para ahli, telah menimbulkan dua gejala, yaitu gejala erosi nilai-nilai tradisional, dan gejala retradisionalisasi. Hal ini mulai tampak pula dalam realitas sosial masayarakat Manna. Sebagai contoh, prosesi bimbang gedang di Manna yang biasanya dilakukan secara besar-besaran, biasanya kini hanya dapat dilaksnakan oleh anggota masyarakat yang kemampuan ekonominya tinggi. Gejala erosi nilai-nilai tradisional dalam kehidupan masyarakat mulai pula menimbulkan kesimpangsiuran norma-norma, dan kemerosotan nilai-nilai tradisional, sebagai akibat modernisasi.
Walaupun demikian, bentuk-bentuk seni budaya dan tradisi di Manna yang masih ada dan bernafaskan Islam sekaligus bernuansa adat tradisional. Dalam upacara perkawinan misalnya, bagi mereka yang sudah berpandangan modern, merupakan rangkaian prosesi yang panjang dan melelahkan, dan sudah seharusnya ditinggalkan atau dimodifkasi. Namun karena hal itu telah menjadi adat dan tradisi, sebagian besar masyarakat masih melaksanakan prosesi yang panjang tersebut hingga sekarang walaupun membutuhkan waktu dan biaya yang cukup besar.
Di sekitar abad ke 12-17 di daerah Bengkulu Selatan terdapat dua kerajaan kecil yaitu Gedung agung dan Manau riang. Sampai pada akhir abad ke 15 kerajaan-kerajaan kecil ini dibawah pengaruh kerajaan Majapahit yang mengalahkan Sriwijaya pada abad ke XIII. Dalam periode ini rata-rata kerajaan kecil di daerah Bengkulu di pimpin oleh Bikaw yang merupakan sebutan pimpinan agama Budha. Kemungkinan besar agama ini masuk melalui kekuasaan kerajaan Sriwijaya. Setelah Majapahit mundur pada pertengahan abad-16 Islam masuk melalui pengaruh kesultanan Banten. Sejak saat itu Islam berkembang di Bengkulu secara umum, termasuk di Bengkulu Selatan. Perkembangan agama Islam semakin pesat melalui hubungan dagang dengan kerajaan aceh di abad-17.
Kabupaten Bengkulu Selatan juga dikenal dengan sebutan kawasan Seraway, yang merujuk pada nama suku bangsa asli. Asal nama Seraway dikaitkan dengan dua pendapat yaitu: pertama, pendapat yang mengatakan bahwa Seraway berasal kata sauai, yang maksudnya cabang dua buah sungai yaitu sungai Musi dan sungai Seluma yang dibatasi oleh Bukit Capang. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Seraway berasal kata dari seran yang artinya celaka (celako). Ini dihubungkan dengan suatu legenda dimana seorang anak raja dari hulu dibuang (dihanyutkan) ke sungai karena menderita penyakit menular. Ia lalu terdampar, dan mendirikan kerajaan. Daerah dimana anak raja ini terdamparlah yang kini dikenal sebagai Seraway.
Kerajaan Seraway terpisah dengan Kerajaan Bengkulu (Bangkahulu). Kerajaan ini ditemui antara daerah sungai Jenggalu sampai ke muara sungai Bengkenang namun kerajaan ini akhirnya terpecah- pecah menjadi kerajaan kecil yang disebut margo (marga). Marga dipimpin oleh seorang datuk dan membawahi beberapa desa atau dusun. Marga-marga di Kabupaten Bengkulu Selatan yang kini masih dikenal adalah Pasar Manna, VII Pucukan, Anak Lubuk Sirih, Anak Dusun Tinggi, Kedurang, Ulu Manna Ilir, Ulu Manna Ulu, Anak Gumay dan Tanjung Raya. Namun mereka bersatu atas dasar satu kesatuan dan satu keturunan dan satu rumpun bahasa. Bahasa di Kabupaten Bengkulu Selatan terdiri dari dua bahasa asli yaitu bahasa Pasemah yang banyak dipakai dari muara sungai Kedurang sampai dengan perbatasan Kabupaten Kaur sedangkan mayoritas menggunakan bahasa Seraway yang merupakan turunan dari bahasa Melayu.
Masyarakat Manna, Bengkulu Selatan di Masa kini adalah masyarakat yang sedang bergerak menjadi masyarakat modern. Meski kini banyak yang hidup sebagai PNS, namun umumnya mereka masih mencari penghasilan dengan bekerja di sektor pertanian, khususnya perkebunan yang menghasilkan beberapa jenis tanaman perkebunan utama seperti; kelapa sawit, kopi, karet, coklat, dan kelapa. Selain di sektor pertanian, sebagian masyarakat Bengkulu Selatan juga mempunyai penghasilan di sektor lain seperti; peternakan, perikanan, kehutanan, perindustrian, pertambangan, dan perdagangan. Kini, di Manna juga tumbuh hotel dan pariwisata. Namun sayangnya, potensi wisata di Manna masih banyak yang belum dikembangkan.
Meski Masyarakat Manna sedang tumbuh menjadi masyarakat modern, mereka juga masih terikat kuat dengan Adat, yang membuat kebudayaaan mereka relatif masih terpelihara dan dilestarikan oleh masyarakat setempat. Hal ini dapat dilihat dari adanya mitos-mitos yang masih terpelihara kuat di daerah mereka, Demikian pula masih terpelihara warisan budaya seperti hukum adat, kesenian adat yang bernuansa religius ataupun upacara adat yang syarat dengan muatan-muatan nasehat dan budi pekerti. Selain itu, terdapat pula upacara-upacara ritual ziarah sebagai bentuk penghormatan dan ibadah masyarakat terhadap para pendahulunya atau untuk para leluhur dan orang tua.
Hukum adat, masyarakat Manna terdiri atas yang tertulis dan yang tidak tertulis. Aturan yang dipedomani secara lisan memang tidaklah ada sangsi nyata berbentuk kesepakatan hukuman tetapi, bentuk sangsi moral yang lebih menyakitkan dalam jangka panjang bagi pelanggaran aturan itu seperti, dijauhi orang, dan bicara tidak didengarkan orang. Adapun aturan yang tidak tertulis tersebut, seperti: istinja, petata petitih, etika, dan norma-norma adat lainnya.
Selain itu, di Manna juga masih terdapat berbagai kesenian tradisional, yang meliputi, kesenian yang bernuansa religius, seperti kaligrafi, tadut, serapal anam. Ada juga kesenian yang merupakan perpaduan antara seni tari, seni musik, dan seni suara seperti, berdendang, tembang, dll. Sedangkan tarian tanpa alat musik ada beberapa seperti, tari Bubu, tari Pisau Dua, tari Pedang, tari Silat, dan juga tari Andun ada pada setiap kecamatan, kecuali di Kecamatan Kedurang.
Meski kini banyak produk kebudayaan asli yang mulai punah, sebagai implikasi logis dari modernitas, di Manna Bengkulu Selatan masih dilaksanakan berbagai upacara adat yang bernuansa agamis dan sakral, seperti upacara adat Nundang Padi, upacara adat Ziarah, upacara Sedekah Pengobatan, dan upacara adat Bimbang. Pada setiap acara adat, masyarakat mengenakan pakaian adat, yang telah disepakati pada zaman pasirah, jauh sebelum kabupaten ini menjadi tingkat dua. Untuk laki-laki, pakaian yang dikenakan adalah baju lakan dengan kerah belah buluh, detar bewarna benang emas, dan celana warna hitam.
Implikasi logis dari modernitas kebudayaan, menurut para ahli, telah menimbulkan dua gejala, yaitu gejala erosi nilai-nilai tradisional, dan gejala retradisionalisasi. Hal ini mulai tampak pula dalam realitas sosial masayarakat Manna. Sebagai contoh, prosesi bimbang gedang di Manna yang biasanya dilakukan secara besar-besaran, biasanya kini hanya dapat dilaksnakan oleh anggota masyarakat yang kemampuan ekonominya tinggi. Gejala erosi nilai-nilai tradisional dalam kehidupan masyarakat mulai pula menimbulkan kesimpangsiuran norma-norma, dan kemerosotan nilai-nilai tradisional, sebagai akibat modernisasi.
Walaupun demikian, bentuk-bentuk seni budaya dan tradisi di Manna yang masih ada dan bernafaskan Islam sekaligus bernuansa adat tradisional. Dalam upacara perkawinan misalnya, bagi mereka yang sudah berpandangan modern, merupakan rangkaian prosesi yang panjang dan melelahkan, dan sudah seharusnya ditinggalkan atau dimodifkasi. Namun karena hal itu telah menjadi adat dan tradisi, sebagian besar masyarakat masih melaksanakan prosesi yang panjang tersebut hingga sekarang walaupun membutuhkan waktu dan biaya yang cukup besar.
0 Comments
Posting Komentar