Desa Saniang Baka merupakan salah satu desa di kabupaten Solok. Saniang Baka dikenal dengan sebutan nagari Suku Salapan, karena masyarakatnya terdiri dari delapan suku, yaitu: Koto, Sikumbang, Piliang, Guci, Sumpadang, Panyangek, Balaimasiang, dan Tanjuang. Desa Saniang Baka memiliki berbagai kesenian tradisi yang masih terjaga keaslian bentuknya hingga kini, antara lain: tari piriang, tari adok, dan tari ilau. Tentunya, keterjagaan bentuk kesenian pada masyarakat Saniang Baka ini tidak terlepas dari latar belakang budaya masyarakat Saniang Baka itu sendiri, yang cenderung masih memiliki penghormatan yang tinggi pada nilai-nilai tradisi. Di samping itu, masyarakat Saniang Baka juga cenderung memiliki kesadaran untuk meneruskan tradisi mereka kepada generasi yang lebih muda.


Salah satu tari tradisi yang masih hidup sampai sekarang adalah Randai Ilau, yang masih sering dipertunjukan pada acara-acara adat karena tari ini telah dipentaskan dalam berbagai acara adat sebagai tradisi turun temurun. Ilau itu sendiri mempunyai arti bergembira, bersuka ria (Bahasa Minangkabau: bagurau). Randai Ilau merupakan tari tradisi yang dipertunjukkan sebagai hiburan untuk acara-acara tertentu. Masyarakat percaya bahwa Randai Ilau ini lahir sejak nagari Saniang Baka berdiri, yaitu beratus-ratus tahun yang lalu. Randai Ilau ini berpedoman pada silek, yaitu gerak-gerak ilmu bela diri tradisional Minangkabau. Namun secara gerak, Randai Ilau berasal dari gerak tari adok. Setiap gerak yang ada pada tari adok juga ada pada Randai Ilau. Gerak silek yang ditampilkan dalam Randai Ilau adalah silek Singo Barantai, sebuah aliran silek yang diyakini asli dari Saniang Baka, walaupun nama silek ini juga terdapat di daerah lain.

Randai Ilau terdiri dari delapan babak dan tiap babaknya langkahnya bertukar. Delapan babak tersebut adalah: (1) Pasambahan; (2) Pada-pada; (3) Langkah ilau; (4) Lahden iyo; (5) Pasinggahan randah; (6) Pasinggahan tinggi; (7) Lagu tarang; dan (8) Pangkalan jambo. Musik pengiring Randai Ilau yaitu dendang (vokal) yang bersifat pantun yang bercerita misalnya tentang arah pelayaran, di mana dalam satu irama terdapat dua langkah. Salah satu pantun yang ada dalam Randai Ilau adalah pantun pasambahan, yaitu:

”Sutanlah di bentean baru tigo
Sutolah kaden elo Wate lamin Lam aia lah tarenji
Badai tibo Sampan lah kalago
o...bungo angin o...rang adok dok dongsai
rangko muayu alah joleh lah tuan
alah rangku wanyo”

Pantun tersebut menceritakan tentang “layia tarenjek, badai tibo, sampan kalago, bungo anggin,” yang mempunyai makna bahwa dahulunya kapal tidak memakai mesin, tetapi menggunakan tiupan anggin yang di dapat pada pacai layia yang terbuat dari kain yang tebal dan dibentang/dibuka sehingga kapal bisa berjalan.

Randai Ilau ini tidak menentukan siapa penarinya, boleh perempuan ataupun laki-laki asalkan jangan melebihi norma-norma yang berlaku, penarinyapun harus genap, minimal 6 orang dan maksimal 12 oarang. Dari segi kostum, randai Ilau cenderung mirip dengan randai pada umumnya, yakni berwarna hitam (pakaian silek); yang dicirikan oleh galembong batanti; dan deta bacincin. Bentuk pola lantainya pun melingkar seperti randai. Bedanya, dan di tengah-tengah lingkaran randai ilau diletakkan sebuah adok, yakni sebuah alat music perkusi tradisisonal sebagai titik fokus. Konon, dulunya di tengah lingkaran tersebut diletakkan seekor harimau yang sudah mati, yang melambangkan sesuatu kekuasaan, yaitu sesuatu yang ditakuti atau dihormati oleh masyarakat. Tetapi pada saat sekarang, harimau tersebut telah digantikan oleh adok, yang tidak memiliki fungsi apapun selain sebagai pusat lingkaran dari pertunjukan randai ilau tersebut.

Tari randai ilau ini di masakini dipertunjukan untuk acara acara adat antara lain: acara pernikahan; pangangkatan panghulu; dan pada acara alek pemerintah. Randai Ilau sudah mengalami perjalanan yang sangat panjang, secara turun menurun, yaitu dari generasi tua kepada generasi muda. Pada tahun 1951 Randai Ilau pernah ditampilkan di Jakarta dalam masa pemerintahan Soekarno dan pada tahun 1963 juga pernah ditampilkan di ASKI Padangpanjang. Pada perkembangan saat ini masyarakat sangat mendukung Randai Ilau ini, siapa saja boleh mempelajari randai ini dan sekarangpun lagi diajarkan pada anak-anak SMP dan SMA.

Namun demikian, perubahan pola hidup telah pula mengubah kedudukan tarian ini dalam masyarakatnya. Masyarakat Saniang Baka di masa kini kebanyakan mempunyai mata pencarian bertani, sementara sebagian ada juga yang menjadi nelayan danau Singkarak dan berladang. Pola mata pencarian itu membuat nagari Saniang Baka di siang hari terlihat sangat sepi, dan di malam hari juga segera sunyi karena semua orang segera istirahat. Menurut salah seorang masyarakat yang ada di perkampungan tersebut, ia dulunya waktu SMA pernah mempelajari tari ini pada mala hari. Namun saat ini ia tidak tahu tentang perkembangannya dan tidak tau Randai Ilau lagi karena tarian ini sudah jarang ditampilkan di perkampungan mereka sendiri, melainkan di Balai Kota pada acara-acara pemerintahan. Sungguh patut disayangkan mengingat Randai Ilau merupakan bagian seni budaya yang patut untuk dikembangkan. Randai Ilau patutnya tetap dibina dan dipertahankan dengan mengajarkannya kepada remaja atau generasi muda yang ingin mempelajarinya, agar tidak terputus alur tradisinya dan akhirnya mati begitu saja.